Dari Gontor ke Bina Insan Mulia : Kembali Terpanggil oleh Filsafat


Hari Jum'at, 16 Mei 2025 kemarin, Ayahanda K.H. Imam Jazuli, Lc. MA mengisi pengajian bersama seluruh santri. Topik yang beliau sampaikan sangat berkesan, karena berkaitan dengan salah satu tema favoritku: filsafat. Aku jadi teringat masa-masa ketika duduk di kelas 6 KMI Gontor. Salah satu pelajaran favoritku saat itu adalah *Mantiq*. Pelajaran ini hanya diajarkan di kelas 6 dan memberikan pemahaman tentang cara berpikir dan berbicara secara logis. Seingatku, pelajaran ini erat kaitannya dengan logika. Karena itu, dulu aku sempat terpikir untuk mendalaminya dan mengambil jurusan yang sejalan dengan cara berpikir mendalam, yaitu Aqidah dan Filsafat Islam.

Jujur saja, dibandingkan dengan pelajaran fiqh, tafsir, hadits, atau tarbiyah, filsafat lebih menarik perhatianku. Namun, salah satu ustadzah pernah memberi pesan bahwa jika ingin mengambil jurusan filsafat Islam, sebaiknya tidak di Indonesia. Katanya, ada kekhawatiran justru akan melenceng dari syariat jika tidak dibekali pemahaman yang kuat. Belajarnya, kata beliau, sebaiknya langsung di Timur Tengah.

Namun, karena satu dan lain hal, aku akhirnya tidak melanjutkan studi ke bidang filsafat. Aku memilih ilmu komunikasi, sembari tetap memperluas pengetahuan melalui buku-buku yang rutin kubeli setiap bulan. Saat mendengarkan pengajian kemarin, rasa semangatku untuk kembali menyelami filsafat kembali terpancing. Ayahanda menyampaikan:

> “Untuk memahami realitas kehidupan, baik secara fisik maupun non-fisik, semuanya berlandaskan filsafat. Ketika kalian mempelajari ilmu filsafat, berarti kalian mempelajari semua jurusan.”

Banyak yang mengira jurusan filsafat adalah jurusan yang minim peluang kerja. Namun menurut Ayahanda, justru sebaliknya: filsafat membuka banyak ruang pekerjaan, hanya saja orientasinya bukan pada pekerjaan yang hanya membutuhkan satu ilmu, melainkan pada level atas yang membutuhan banyak ilmu yang saling berhubungan satu sama lain. Karena filsafat mempelajari semua cabang pengetahuan yang dibutuhkan dalam profesi seperti politikus, pebisnis, dan lainnya.

Kemampuan berpikir logis orang yang mendalami filsafat pun berbeda. Keputusan diambil tidak hanya dari satu sudut pandang, tapi dari berbagai sisi. Maka, bagi siapa pun yang memiliki orientasi besar—bukan hanya untuk menjadi pegawai, tetapi menciptakan lapangan kerja—belajar filsafat adalah bekal penting. Tapi tentu, ini butuh keberanian.

Ayahanda juga menyampaikan bahwa seorang filsuf selalu memiliki gagasan tak terbatas, karena mereka tidak pernah berhenti belajar. Jika filsafat berhenti berkembang, maka ilmu pengetahuan pun ikut mandek. Semakin minimnya peminat di bidang ini tentu berdampak juga terhadap kemajuan Indonesia. Problem di Indonesia itu banyak orang genuine, tapi kebanyakan duplicate. Tidak banyak yang ikut menciptakan hal baru, kebanyakan hanya menduplikasi dan memperbarui. Akibatnya, orisinalitas dan penemuan semakin langka.

Contoh kecil yang diberikan Ayahanda bahwa filsafat itu diaplikasikan di kehidupan kita adalah mengenai penyakit anak yang mau boyong. 2 faktor yang tidak bisa lepas yang menjadi penyebab penyakit itu adalah fisik dan psikologis. Karena itu yang perlu di cek bukan hanya fisik tetapi juga psikis nya. Dan itu tidak bisa kita hanya mengandalkan ilmu kedokteran atau ilmu psikologi saja, harus gabungan keduanya, dan itu hanya bisa didapatkan di bidang Filsafat. 

Sebagai contoh sederhana, Ayahanda menyinggung tentang anak yang ingin *boyong* dari pesantren. Biasanya muncul "penyakit" yang penyebabnya bukan hanya fisik, tetapi juga psikologis. Maka, solusinya tidak bisa hanya mengandalkan ilmu kedokteran atau psikologi, tapi perlu pendekatan filsafat yang menyatukan keduanya—melihat secara holistik dan mendalam.

Maka kelebihan para filsuf itu dalam mengambil keputusan menjadi lebih bijak karena mempertimbangkan banyak hal seperti empirisme, fakta yang terjadi karena selalu belajar dari kenyataan yang dilihat dan juga mengedepankan rasionalitas, penalaran akal dan logikanya digunakan. Semua hal dilihat secara menyeluruh.

Setelah mendengarkan paparan tersebut, aku mulai mempertimbangkan kembali... Apakah ini saatnya untuk kembali menekuni bidang filsafat? Bidang yang dulu pernah mencuri perhatianku?

Wallahu a’lam bisshawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Cerita Word ke Dunia Literasi

Kasih Sayang : Antara Memberi dan Menerima